Membangun Kepercayaan
Kepercayaan adalah sumbu dalam berinteraksi sosial. Pengusaha-pengusaha selalu mengisahkan perjalanan suksesnya diawali dengan membangun kepercayaan relasi. Ada yg mempercayakan modal, proyek dll.. salah satunya adalah jualan dengan media online sangat di butuhkan dalam membangun kepercayaan
Sebagian trainer motivasi mengatakan, “Kepercayaan itu datangnya dari orang lain dan alasannya dari kita”. Dalam artian saya punya sebab tidak dipercaya orang karena saya tidak mempunyai alasan/syarat untuk dipercaya. Dan sebaliknya kita akan tetap dipercaya, walau sebelumnya tidak dipercaya, karena mempunyai bukti kuat kita layak dipercaya.
Keruwetan hubungan (dalam segala hal), karena berkurangnya tingkat kepercayaan. Untuk mengurainya kembali, harus keposisi masing-masing dengan memantaskan dirinya pada keadaan sesungguhnya.
Memantaskan Diri untuk Dipercaya?
Aktor Jet Li memaparkan langkah awal memperoleh kepercayaan, “Pertama; ketuklah pintu, kedua; buatlah orang lain tahu bahwa kau datang, ketiga; buktikan siapa dirimu. Jika kau sudah berhasil membuktikan siapa dirimu, maka kau akan mudah mengubah orang dan mengubah keadaan.
Mari kita buktikan apakah Anda layak dipercaya!!
Berbicara teori fikih muamalah sudah banyak dijelaskan pada website ini. Sistem bagi hasil yang syar’i, sistem dropshiping dan akad-akad transaksi lainnya.
Ustadz Muhammad Yasir, MA pernah menekankan dalam tulisannya,
“Bedakan antara berbicara teori dengan praktek. Kalau kita sedang membahas teori hukum mudharabah, sarikat dagang, aqad salam, memang mudah. Akan tetapi, yang sedang kita bicarakan di sini adalah solusi bagaimana agar orang yang tidak punya finansial bisa memulai usaha dengan mempraktekkan mudharabah, sarikat dagang, atau aqad salam. Biasanya orang yang tidak punya modal finansial adalah “pendatang baru” di dunia bisnis.”
Zaman sekarang tidak mudah orang mempercayakan duitnya kepada kita.
Kalau kita berbicara praktek, berarti kita berbicara sesuai dengan dunia nyata, keadaan riil di lapangan. Maka, coba perhatikan lapangan dunia bisnis!
Pertama: tempatkan diri anda sebagai pengusaha pemula. Lalu bertanyalah:
Saya ingin praktek mudharabah, siapakah orang kaya yang rela menyerahkan sejumlah uangnya untuk dikelola oleh saya?
Saya ingin praktek aqad salam, siapakah yang bersedia membayar tunai sejumlah uang kepada saya sedangkan barang dagangan belum saya miliki, hanya janji yang bisa saya berikan bahwa barang tersebut akan dikirim tahun depan.
Kedua: tempatkan diri anda sebagai seorang milyuner. Lalu bertanyalah:
Maukah saya menyerahkan sejumlah uang saya untuk dikelola orang lain? Siapakah orang itu? Apa trade record dia dalam dunia usaha? Bisakah ia dipercaya?
Saya butuh rempah rempah sebanyak 200 ton tahun depan untuk produksi jamu di pabrik saya. maukah saya membeli dengan aqad salam dari dia, dengan menyerahkan uang tunai sejumlah 800 juta? Bisakah dia dipercaya akan mengirimkan barangnya tahun depan?
Mungkin itulah pertanyaan yang akan terbersit dari kedua belah pihak.
Ternyata, intinyanya dalam permodalan hubungan kepercayaan lah yang lebih kuat menentukan.
Jadi, bagaimanakah membangkitkan kepercayaan orang pada kita?
Kita bertanya demikian adalah bertujuan mendapatkan kepercayaan untuk mengelola dana dari orang lain.
Namun, sebelum kita mendapatkan kepercayaan itu, marilah kita perhatikan bagaimana cara Islam menentukan standar penetapan kepercayaan.
Allah berfirman:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya: Ujilah anak yatim itu sampai mereka baligh dan cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara dan mengelola harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. An Nisa: 6)
Maksud ayat di atas adalah, seorang anak yatim yang ditinggal mati orang tuanya pasti mendapatkan harta warisan dari mereka. Anak yatim itu beserta hartanya diperintahkan Allah Ta’ala untuk dijaga oleh kerabatnya atau orang lain. Harta anak yatim tersebut digunakan seefesien mungkin untuk memenuhi kebutuhannya. Harta itu baru boleh diserahkan sepenuhnya pada anak yatim itu bila terpenuhi dua syarat:
Pertama: ia sudah baligh
Kedua: ia sudah mampu menjaga dan mengelola harta tersebut.
Allah menyuruh praktek demikian, padahal konteks ayat tersebut adalah menyerahkan harta anak yatim pada pemiliknya sendiri. belum boleh diserahkan bila belum muncul kepercayaan bahwa ia mampu mengelola harta tersebut.
Nah, mari kita membuat analogi prioritas, maksudnya: Bila untuk pengelolaan harta sendiri saja butuh kepercayaan, apalagi untuk mengelola harta orang lain, maka pastinya kepercayaan itu harus mencapai level yang tinggi.
Intinya, bangkitkanlah kepercayaan orang lain pada diri anda. Tidak mudah orang akan menyerahkan sejumlah uang untuk dikelola orang lain bila orang tersebut belum bisa memberiakan kepercayaan yang bisa membuktikan kemampuannya dalam mengelola uang tersebut.
Ujian adalah salah satu cara mengeluarkan “ijazah kepercayaan”
Dalam tafsir ayat di atas, para ulama mencontohkan bagaimana bentuk ujian untuk anak yatim tersebut. di antaranya, mereka diserahkan sedikit harta kemudian disuruh untuk berdagang di pasar, atau diinvestasikan/dikelola di bidang lain untuk mengembangkan harta tersebut. Bila terbukti ia mampu, barulah seluruh hartanya diserahkan.
Kesimpulannya: Bagi pengusaha baru yang tidak punya modal riil (finansial), perlihatkan dengan usaha anda bahwa anda punya trade record yang dapat dibuktikan kepercayaannya.
Jadi, tidak ada usaha yang dimulai tanpa modal sepeser pun. Karena usaha mewujudkan kepercayaan orang lain juga butuh modal riil walaupun sedikit jumlahnya.
Jika Anda belum mempunyai kapabilitas jangan pernah memaksakan diri memegang kepercayaan dari orang lain. Setidaknya kembali mengoreksi kemampuan kita, jangan sampai kepercayaan tercabut dari diri kita