Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita awali dengan memahami skema transaksi utang bergadai,
Pertama, bahwa transaksi nasabah dengan bank adalah utang piutang. Sementara jaminan sertifikat yang diserahkan nasabah ke bank berstatus sebagai barang gadai (rahn). Nasabah sebagai penggadai (rahin), sementara bank sebagai penerima gadai (murtahin).
Kedua, dalam transaksi gadai, barang yang menjadi agunan tidak berpindah kepemilikan ke Murtahin. Barang itu tetap menjadi milik nasabah (rahin), sehingga dia yang paling berhak atas barang itu. Meskipun utang belum lunas ketika jatuh tempo.
Ini berbeda dengan kejadian masa jahiliyah. Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran utang dan orang yang menggadaikan belum bisa melunasi utangnya maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya.
Ketika Islam datang, sistem dzalim semacam ini dibatalkan. Karena status barang gadai tersebut adalah amanah dari pemilik yang ada di tangan pihak yang berpiutang (murtahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).
Ketiga, Dibolehkan bagi bank untuk meminta nasabah agar segera melunasi utangnya. Jika tidak memungkinkan, bank boleh meminta untuk menjual aset yang digadaikan.
Dalam Taudhih al-Ahkam dinyatakan, لا يجبر الراهن على بيعه إلاَّ إذا تعذر الوفاء، حينئذٍ تأتي الفائدة من الرهن فيباع ويوفى الدين، فإن بقي من الثمن شيء فهو للراهن
Nasabah gadai (rahin) tidak boleh dipaksa untuk menjual barang gadai, kecuali jika tidak memungkinkan baginya untuk melunasi utangnya. Di sinilah fungsi gadai itu terlihat. Barang gadai bisa dijual untuk menutupi utangnya. Jika masih ada yang tersisa dari hasil penjualan setelah dikurangi utang, maka diserahkan ke pemilik barang (rahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).
Keempat, mengingat pelepasan gadai dilakukan dengan cara menjual aset, maka yang paling berhak menentukan harga adalah pemiliknya. Jika tidak memungkinkan, pemerintah berhak mengambil tindakan, membekukan aset itu. Pemerintah bisa melakukan lelang terhadap aset dengan harga standar, untuk menutupi utang nasabah.
Di sinilah peran pemerintah sangat diharapkan. Pihaknya berkewajiban melidungi kedua belah pihak. Melindungi hak orang memiliki utang (nasabah) dan melindungi hak pemberi utang (lembaga keuangan). Tidak boleh dilelang dengan harga yang bisa mendzalimi pemiliknya. Misalnya, dijual dengan harga jauh di bawah harga pasar. Di tempat kita, salah satu standar yang digunakan adalah NJOP (Nilai Jual Objek PaJak).
Di negara kita, tanggung jawab ini dipegang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Kita berharap, kantor semacam ini bisa bekerja lebih maksimal, dan bersih dari mafia. Lelang Bank
Kebijakan lelang bank, salah satunya dengan melihat pertimbangan kolektibilitas. Beberapa bank, nasabah yang tingkat kolektibilitas 5, untuk rentang penunggakan lebih dari 6 bulan, berhak untuk dilakukan penyitaan aset. Menurut informasi, ketika nasabah berada pada tingkat kolektibilitas 3 sampai 5, maka masuk kategori NPF (Non Performing Financing) atau loan (utang).
Yang menyedihkan adalah prinsip pihak bank adalah yang penting barang itu laku, sehingga bisa menutupi nilai utang berikut bunganya. Atau bahkan yang penting cukup untuk melunasi pokok utangnya. Sehingga, untuk harga lelang, bank tidak terlalu ambil pusing.
Realita ini menunjukkan bahwa lelang hasil sitaan bank maupun lembaga keuangan, adalah lelang yang tidak sehat. Sangat mendzalimi nasabah. Sehingga dijual dengan harga yang sangat murah. Dan semua kedzaliman, pengadilannya akan berlanjut di akhirat.
Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman untuk mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS. Ibrahim: 42)
Mereka para pemenang lelang, bisa berbahagia dengan menguasai harta orang lain dengan cara legal dan murah. Bisa jadi di dunia dia menang ketika eksekusi, tapi ingat ketika di akhirat, bisa jadi urusan ini akan kembali dilanjutkan dan diselesaikan di pengadilan akhirat.