DUNIA HANYA DI TANGAN TIDAK DI HATI


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dunia hanya di tangan, tidak di hati
Seperti itulah dunia di mata para sahabat… sehingga mereka menjadi manusia yang paling zuhud, mekipun mereka memiliki kekayaan yang sangat banyak.


Ibnul Qoyim mengatakan,

والأصل هو قطع علائق الباطن ، فمتى قطعها لم تضره علائق الظاهر ، فمتى كان المال في يدك وليس في قلبك لم يضرك ولو كثر ، ومتى كان في قلبك ضرك ولو لم يكن في يدك منه شيء

Prinsipnya adalah memutus hubungan dengan batin. Ketika orang telah berhasil memutusnya, kondisi lahiriyah tidak akan mempengaruhinya. Sehingga selama harta itu hanya ada di tanganmu, dan tidak sampai ke hatimu, maka harta itu tidak akan memberikan pengaruh kepadamu, meskipun banyak. Dan jika harta itu bersemayam di hatimu, maka dia akan membahayakan dirimu, meskipun di tanganmu tidak ada harta sedikitpun. (Madarijus Salikin, hlm. 465).

Ibnul Qoyim menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad,
Ada orang yang bertanya kepada Imam Ahmad,

أيكون الرجل زاهدا ، ومعه ألف دينار؟

Apakah seseorang bisa menjadi zuhud, sementara dia memiliki 1000 dinar?

Jawab beliau,

نعم على شريطة ألا يفرح إذا زادت ولا يحزن إذا نقصت ، ولهذا كان الصحابة أزهد الأمة مع ما بأيديهم من الأموال

Betul, dengan syarat, dia tidak merasa bangga ketika hartanya bertambah dan tidak sedih ketika hartanya berkurang. Karena itulah, para sahabat menjadi generasi paling zuhud, meskipun mereka memiliki banyak harta.

Pertanyaan semisal juga pernah disampaikan kepada Sufyan at-Tsauri,

أيكون ذو المال زاهدا ؟

Apakah orang yang kaya bisa menjadi zuhud?

Jawab Imam Sufyan,

نعم؛ إن كان إذا زيد في ماله شكر ، وإن نقص شكر وصبر

Betul, jika dia bisa menjadi orang yang apabila hartanya bertambah, dia bersyukur, dan jika hartanya berkurang, dia tetap bersyukur dan bersabar. (Madarij Salikin, hlm. 466).

Ibnul Qoyim melanjutkan,

Memutus hubungan agar dunia tidak berada di hatinya, akan semakin terpuji apabila itu dilakukan karena 2 alasan,

[1] Karena kekhawatiran itu bisa membahayakan agamanya.

[2] Ketika dia merasa tidak ada maslahat besar di sana.
Dunia yang Kita Butuhkan, Layaknya Toilet

Semua orang butuh toilet… butuh tempat buang air.. namun tidak ada orang yang mencintai toilet. Mereka hanya akan menggunakannya ketika mereka butuh, tanpa harus mencintainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

ثم ينبغي له أن يأخذ المال بسخاوة نفس؛ ليبارك له فيه، ولا يأخذه بإشراف وهلع؛ بل يكون المال عنده بمنزلة الخلاء الذي يحتاج إليه من غير أن يكون له في القلب مكانة

Hendaknya orang itu mengambil harta dengan jiwa yang tidak bernafsu, agar hartanya diberkahi. Dan tidak mengambilnya dengan menggebu-gebu dan perasaan takut kurang. Namun harta di sisinya seperti toilet, yang dia butuhkan, tanpa ada posisi sedikitpun di dalam hatinya. (Az-Zuhd wal Wara’, Syaikhul Islam, hlm. 75)
Belajar Zuhud Terhadap Dunia…

Zuhud itu amal hati. Belajar zuhud berarti mengendalikan suasana hati meniru kondisi manusia zuhud di masa silam… ada 3 hal yang bisa kita suasanakan,

Pertama, hendaknya seorang hamba lebih meyakini apa yang ada di tangan Allah, dari pada apa yang ada di tangannya.

Allah menjanjikan kebaikan dunia akhirat bagi mereka yang bertaqwa kepada-Nya. Sehingga ketika dia melihat dunia, dia tidak silau dan memandang janji Allah lebih hebat dibandingkan yang dia lihat…

Ketika Nabi Sulaiman ‘alaihis shalatu was salam menerima hadiah dari ratu Saba’, berupa harta yang sangat banyak, beliau sama sekali tidak terheran, dan beliau mengatakan,

قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آَتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آَتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ

Sulaiman berkata, ‘Apakah kalian akan menyogokku dengan harta, padahal apa yang diberikan Allah kepadaku, lebih baik dibandingkan apa yang kalian berikan. Namun kalian merasa bangga dengan hadiah kalian.’ (QS. an-Naml: 36).

Sufyan bin Uyainah bercerita,

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik pernah menemui Salim bin Abdullah bin Umar.

Hisyam menawarkan, “Wahai tuan Salim, silahkan minta kepadaku apa yang anda butuhkan.”

Jawab Salim,

إِنِّي أَسْتَحِي مِنَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ أَسْأَلَ فِي بَيْتِ اللَّهِ غَيْرَ اللَّهِ

“Aku malu kepada Allah Ta’ala, untuk meminta di rumah-Nya kepada selain Allah.”
Lalu Salim keluar dari masjid dan diikuti oleh Hisyam.

Kata Hisyam,

الآنَ قَدْ خَرَجْتَ فَسَلْنِي حَاجَةً

“Sekarang anda sudah di luar baitullah. Silahkan minta kebutuhan anda kepadaku..”

Tanya Salim,

مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا أَمْ مِنْ حَوَائِجِ الآخِرَةِ ؟

“Kebutuhan dunia atau kebutuhan akhirat?”

“Kabutuhan dunia.” Jawab Hisyam.

Jawab Salim,

أَمَا وَاللَّهِ مَا سَأَلْتُ الدُّنْيَا مَنْ يَمْلِكُهَا فَكَيْفَ أَسْأَلُ مَنْ لا يَمْلِكُهَا

“Demi Allah, aku tidak ingin meminta dunia kepada Dzat yang memilikinya, lalu bagaimana mungkin aku memintanya kepada orang yang tidak memilikinya?” (Masyikhah Ibn Jamaah)

Ini bisa dilakukan dengan membangun keyakinan mendalam tentang bagaimana Allah memberikan rizki kepada para hamba-Nya, serta janji besar yang Allah berikan kepada para hamba-Nya yang bertaqwa.

Kedua, hendaknya seorang hamba berusaha bersabar ketika mendapat musibah yang mengurangi hartanya atau peluang bisnisnya, dst. Dia mengharap kepada Allah dari musibah yang dia alami. Sehingga berkurangya sebagian dunianya, sama sekali tidak merasa kehilangan. Bagi dia, hartanya bertambah atau berkurang, itu sama saja…

Ketika para sahabat berhijrah ke Madinah, meninggalkan kota Mekah, diantara tantangan yang harus mereka hadapi adalah mereka harus siap jadi miskin. Disamping mereka tidak mungkin membawa banyak harta, orang musyrikin Quraisy tidak rela ketika kaum muslimin pergi meninggalkan Mekah dengan membawa banyak hartanya.

Tapi bagi para sahabat, itu konsekuensi membela iman… meskipun harus menerima kerugian dunia.

Ketiga, bagi dia, orang yang memuji maupun yang mencela dirinya adalah sama, selama dia di atas kebenaran.

Ini menunjukkan, dia tidak mencintai dunia. Karena karakter pecinta dunia, dia senang dipuji, dan berat jika dicela. Yang ini bisa menjadi pemicu baginya untuk melanggar larangan Allah karena khawatir dicela. Atau melakukan maksiat, dengan harapan bisa mendapatkan perhatian dari manusia.

Ketika orang yang memuji dan mencela sama di hadapannya, berarti dia tidak mempedulikan apa komentar makhluk. Hatinya dipenuhi dengan mencintai Allah, dan berjuang menggapai ridha-Nya, apapun komentar manusia kepadanya.

(Dikutip dari buku Hakadza Kana as-Shalihun, Khalid Husainan, hlm. 46-47)

Allahu a’lam
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits